Senja sore di
sudut jogja. Senja yang tak peduli dengan hati seseorang, entah itu hati yang
riang ataupun merana. Banyak orang beranggapan kalau senja itu adalah keajaiban
alam yang sering terjadi dan berulang – ulang. Tak sedikit orang yang terbawa
pesona senja, entah itu dengan perasaan gembira ataupun duka. Namun, bagi Rasha
senja sore itu adalah sebuah gambaran dari hatinya yang pilu dan penuh dengan
ambigu.
Rasha adalah
sesosok perempuan yang mempunyai keturunan arab yang bisa dikatakan lumayan
kental dengan ke-arab-annya. Bisa dilihat dari hidung yang mancung, serta bulu
mata yang lentik, membuat seluruh lelaki yang memandangnya serasa ingin terus –
menerus memandangnya, tanpa ada jeda diantaranya.
Di sore itu iPhone
Rasha bergetar dua kali, dengan jeda getaran sebentar lalu bergetar kembali,
pertanda ada pesan singkat yang masuk di iPhone Rasha. Dengan sigap Rasha
mengambil iPhone miliknya.
“Sha, bisa ke Café
Zilanium sekarang nggak? Aku sendirian nih,” Rasha membaca pesan singkat di
iPhonenya.
“Oke, tunggu aku
lima belas menit lagi ya. J,” jawab Rasha lengkap dengan emotikon senyum.
“I hope you on time,” jawab orang itu.
Dengan perasaan
yang berbunga – bunga Rasha membuka pintu lemari gesernya dan melakukan ritual
lazim perempuan sebelum bepergian. Iya, mix
and match. Lima menit telah berlalu, akhirnya Rasha beranjak keluar
kamarnya dengan T-Shirt putih yang bertuliskan ‘Thanks god, I’m special one’ serta celana jeans Wrangler-nya lengkap dengan tas Bonjour coklat yang dibelinya minggu
lalu dan tak lupa iPhone 5s di genggamanya. Rasha memang perempuan yang casual.
“Mah, Rasha pergi
dulu ya,” seru Rasha kepada ibunya.
“Hati – hati ya,
nak, jangan pulang malem – malem,” jawab ibunya.
“Iya, mah,”
Rasha pun beranjak
ke garasinya lalu memanaskan Piaggio
berwarna putih peninggalan almarhum ayahnya. Motor itu sangat terawat sekali.
Senja dihari itu
mulai memperlihatkan titik jenuhnya, dengan ditandai datangnya malam. Memang
tak ada senja yang abadi, karena semua orang tahu kalau dunia ini berputar,
tidak stagnan. Apabila senja itu
abadi, mungkin setiap orang pasti akan menghabiskan hari – harinya dipinggir
pantai lalu menatap setiap detik waktu yang dibuangnya untuk menatap senja
tersebut.
Lima belas menit
telah berlalu.
“Padahal udah aku
bilang on time, tapi tetep aja telat,
hobi banget kayaknya,” gumam seorang cowok yang sedang duduk sambil memandang
arloji berlabelkan G-Shock itu.
Tak lama kemudian,
datang seorang perempuan agak keteteran menggendong tas berwarna coklat. Cowok
yang tadi duduk menatap arlojinya, sekarang mengalihkan pandanganya kepada
perempuan yang berdiri tepat di depanya dan menyisir pandanganya dari ujung
kaki hingga ke ujung kepala perempuan tersebut. Lalu terdiam beberapa saat.
Lenyap jatuh dengan pesona kecantikan perempuan itu. Rasha memang jagonya
membuat cowok – cowok terkagum – kagum.
“Maaf, aku telat
ya?” Rasha memecahkan lamunan cowok yang dari tadi memandangnya.
“oh, umm, nggak
kok, nggak,” jawab cowok itu grogi.
Cowok yang ditemui
Rasha ini bernama Dimas, dia adalah teman SMA Rasha. Sewaktu SMA Dimas adalah
cowok terpintar sekaligus merangkap predikat terganteng di SMA-nya, tak heran
banyak perempuan yang berusaha mendekatinya. Namun, hanya Rasha yang bisa
mengerti dan memahami isi hatinya. Untuk saat ini.
“Nggak usah
malu-malu kalau memang aku telat, aku sejak tadi ngeliatin kamu kok gelisah
sambil bolak – balik liat jam tangan. Hihihi,” Rasha terkekeh – kekeh.
“Eh, serius nggak
apa – apa kok, itu mah gaya aja,” jawab Dimas keki.
“Dari pada debat
ngomongin siapa telat apa nggak, mendingan kamu kasih tau tujuan kamu sekarang
ngapain ngajak aku kesini?” Ucap Rasha sambil merapikan bajunya dan duduk.
“Aku cuma pengen
ketemu kamu, sha…eng..engg..,” ucap Dimas.
“Yaelah, kalau mau
ketemu, nggak usah bikin message horror kayak tadi, aku juga udah bakal mau
ketemuan sama kamu,” jawab Rasha.
Dimas tersenyum.
Senyuman yang hangat penuh ketulusan. Penuh harapan. Senyuman yang tak mungkin
ada sedikitpun kecacatan dalam mencurahkan isi hatinya, isi perasaanya.
“Mbak, mbak…mesen Café Americano, gulanya dikit,” ucap
Dimas kepada waiters café.
“Mbak, saya juga,
mes……,” Ucapan Rasha terputus.
“Dia juga mesen Café Americano sama dengan saya, gulanya
juga dikit mbak,” sela Dimas.
Rasha kaget dengan
kejadian yang baru saja terjadi tadi.
Ada sebuah
keunikan dari diri Dimas yang susah ditemukan di lelaki lain. Menurut Rasha,
Dimas adalah orang yang suka memerhatikan sesuatu hingga ke bagian yang paling
detail dari sesuatu tersebut. Untuk saat ini Dimas sudah menemukan bagian yang
bisa Rasha bilang itu tidak terlalu penting. Dia sudah mempelajari kebiasaan
Rasha memesan Coffie. Dan itu membuat hati Rasha dihinggapi kupu – kupu cantik
pembawa kegembiraan.
“Kok kamu tau?”
Tanya Rasha
“Tau apa?” jawab
Dimas sambil tersenyum kembali menatap Rasha.
“Itu, kok tau
kalau aku suka mesen Café Americano
juga, bahkan tau kalau aku juga nggak suka make gula yang banyak?” selidik
Rasha.
“Iya, aku tau
karena aku memerhatikanmu,” jawab Dimas sambil mengusap – usap kepala Rasha.
Rasha terdiam. Sekali
lagi Dimas membuat kejutan yang cukup membuat hati Rasha berbunga – bunga.
Sentuhan tangan Dimas yang hangat di kepalanya tadi. Sulit bagi Rasha
mengungkapkan perasaanya yang terus melejit ke angkasa. Tapi Rasha senang
diusap – usap bagian kepala.
“Dua Café Americano, gulanya sedikit,” kata waiters Café sembari meletakan kedua
gelas berisi Café Americano tersebut.
Rasha menyeruput
pelan Café Americano yang berada di
hadapanya saat ini. Rasha lebih memilih minum Coffie dengan keadaan yang
lumayan panas dibanding keadaan hangat. Dan kebiasaan itu sudah terekam jelas
di kepala Dimas.
“Kebiasaan ya,
kalau mesen Coffie pasti langsung di tegak kayak begitu,” ucap Dimas sambil
terkekeh – kekeh.
“Hehehe, bawaan
dari kecil,” jawab Rasha sambil tersenyum.
Hal yang paling
disukai Dimas dari Rasha adalah senyumnya yang diberikan kepada orang – orang
tertentu. Dimas kurang suka perempuan yang mengumbar senyumnya kepada orang
lain. Dia menganggap perempuan yang mengumbar senyum kepada orang lain bahwa perempuan
itu sedang menebar pesonanya melalui senyumnya yang menawan. Berbeda dengan
Rasha.
“Ehm, sha..,” ucap
Dimas ragu – ragu.
“Iya?” jawab
Rasha.
“Aku mau ngomong
sesuatu,”
Rasha memang
sedang menunggu, saat – saat ini. Dia berusaha menenangkan degup jantungnya yang
semakin lama semakin keras.
“Mau ngomong apa?
Ngomong aja” jawab Rasha berusaha mengatur nafasnya.
“Aku sayang sama
kamu, sha. Maaf kalau aku terlambat bilang ini ke kamu,” ucap Dimas lancar
tanpa jeda.
Rasha sangat
senang. Layaknya seekor burung yang sedang belajar terbang dari sebuah dahan
ranting, yang berkali – kali jatuh, tapi kali ini burung itu bisa terbang
dengan sempurna. Betapa senangnya hati Rasha mendengar ungkapan hati yang dia
yakini itu adalah ungakapan hati yang bersih, ungkapan hati yang tulus.
“Dimas…,” ucap
Rasha seraya memotong ucapan Dimas.
Dimas tau, dia
harus mengakhiri perasaan ambigu dengan sebuah keberanian yang nyata. Dia tidak
ingin hidup dengan ke-abu-abuan cinta seperti ini. Dia ingin memperjelas
semuanya.
“Iya, sha,” jawab
Dimas.
“Me too,”
“Now, we can?”
jawab Dimas belum selesai
Rasha tidak
berkata – kata. Dia hanya mengangguk memberikan isyarat “iya” kepada Dimas. Senyum
Dimas mengembang.
5 comments
Write commentsYeaah.. keren ceritanya dan si Dimas itu gue banget orangnya... tapi gue dimas yang jomblo:|
Replysederhana ya jalan ceritanya. tapi bikin senyum ketika membacanya. keren bro.
Replybagus ye ceritanye,
ReplyPembawaan bahasanya nggak terlalu berat, jadi mudah di fahami,,,
Di tunggu lanjutannya ,,,
jalan cerita nya walau sudah bakal tahu endingnya tapi kerenn lah kak..
ReplyKata kata kamu bagus, ringan dan membawaku ke imajinasi..keren
ReplyTerimakasih udah ngebaca artikelnya, Minta komen yang sopan ya sob! -@nggakeren ConversionConversion EmoticonEmoticon